Laki – laki itu
memang di desain untuk selalu menjadi pribadi yang penuh akan keberanian,
menyukai tantangan, dan nekat. Terkadang
ketiga point itu manjadi satu menjadi “TEKAD”, meski terkadang semua itu
bertentangan dengan kenyataan. Ini bukan pernyataan ramalan bintang ataupun peruntungan
di Tahun Kuda Kayu. Ini semua hanyalah
kegundahan ketika harus kembali lagi untuk ke tiga kalinya menyapa rute Rawa
Danau.
Ekosistem Rawa
Pegunungan satu – satunya di Asia ini dan yang ke dua di Dunia (satu lagi di
Amazone). Terpampang didepan mata kita, yah... Banten memang memiliki semuanya.
Goweser muda seperti Taufik dengan darah membaranya selalu saja merengek untuk
sesegera mungkin menjelajahi rute ini. Seiring dengan harapan Taufik, Om Mull
sebagai dedengkotnya Rawa Danau terpancing jiwa dan semangatnya untuk sekali
lagi membimbing kami melintasi rute ini.
Lagi – lagi gowes
kali ini diikuti oleh 7 Penggowes Tahan Panas (Oppa Ketut, Om Mull, Abah Budi,
Om Asep, Mas Taufik, Mas Diki, & Saya). Bubur Lapindo tentu menu wajib
sebelum gowes, menunggu Oppa Ketut dan Mas Diki di Krenceng, dan menyusul Abah
Budi di Pasar Mancak. Di Pasar Mancak kami mengisi beberapa perbekalan seperti
air, timun, coklat, permen, sirup anti masuk angin, & nasi (coklat dan
permen selain untuk diri sendiri akan berguna karena banyak anak kecil di
setiap kampung yang dilalui).
Setelah semuanya siap gowes Etafe 1 pun di mulai rutenya adalah Pasar Mancak – Desa Bulakan. Tanjakan demi tanjakan harus dilalui di etafe ini dan tentu saja dengan perbekalan seberat 6 Kg di pundak (mayoritas air). Saya pun menjadi goweser yang paling ngos – ngosan di etafe ini. Beruntung Om Mull mau berbagi beban di tengah perjalanan sehingga beban sedikit berkurang.
Etafe 2 Desa Bulakan – Desa Cikedung Rawa Danau. Di etafe ini kami disambut dengan turunan tajam yang asoy geboy. Pastikan jok sepeda diturunkan disini dan kondisi rem sepeda prima. Ditengah perjalanan saya bertemu dengan pengendara motor yang membawa 3 zak semen..... Dan sungguh malang nasib beliau, motor kesayangan ternyata tak mampu membawanya menuju keatas. Beruntung tidak oleng ke arah jurang. Fokus akan tujuan dan memastikan diri untuk tidak oleng seperti pengendara motor tadi memang butuh konsentrasi di etafe ini, hingga akhirnya saya bertemu dengan rombongan lainnya yang sudah lebih dahulu beristirahat disebuah kolam kecil dengan air yang sedikit mengalir.....
Yah sangat sedikit tidak seperti gowes Rawa Danau sebelumnya dimana kami dapat dengan mudah menemukan sumber mata air. Kondisi hutan yang perlahan mulai rusak karena penebangan pohon oleh penduduk sekitar mungkin menjadi pemicu hilangnya beberapa sumber mata air. Uang memang membutakan, keasrian pada akhirnya harus hilang karena ketidakpuasan segelintir orang akan kehidupan yang mereka alami.
Udara sejuk
hanyalah harapan, matahari sepertinya sedang berbaik hati kala itu. Dengan
setianya Ia menemani kami disepanjang perjalanan gowes kali ini. Sesampainya di
Kantor Desa Cikedung kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan menyantap
perbekalan yang kami siapkan sebelumnya. Tak disangka Oppa Ketut membawa
beberapa buah Salak dan Mas Diki membawa pisang goreng yang ternyata masih
hangat. Lengkap sudah isrirahat kali
ini.
Setelah tubuh
kembali segar dan bersemangat gowes pun dilanjutkan menuju Etafe ke 3 yaitu Desa Cikedung
– Desa Cikurai. Sebelum memasuki etafe ini jangan lupa untuk berdoa, karena
medan yang akan dilalui adalah hutan belantara, jalan bebatuan, udara lembab,
dan lumpur. Ini adalah etafe tersulit dari rangkaian rute gowes Rawa Danau.
Disini kita seperti diawasi (jangan
pernah gowes sendirian), jalan bebatuan yang licin sangat sulit untuk
digowes. Sesekali kami harus turun dari sepeda karena bebatuan yang tidak
memungkinkan untuk dilalui oleh sepeda. Di etafe ini sebenarnya kami memiliki
tempat favorit untuk istirahat makan siang dan menunaikan ibadah Shalat Dzuhur.
Akan tetapi ternyata di tempat ini air pun sudah bosan untuk mengalir, terpaksa
kami melanjutkan gowes untuk mencari sumber mata air lainnya. Beruntung tidak
jauh dari tempat tadi kami menemukan sumber mata air yang masih mengalir. “Alam hanya minta untuk dijaga” kearifan
lokal yang mulai tergerus karena perkembangan zaman telah menggiring mereka
untuk meningkatkan penghasilan demi kebutuhan Tersier dan mendorong terjadinya
kerusakan hutan terutama hilangnya pepohonan untuk ditukarkan dengan pakaian,
elektronik, atau sepeda motor idaman.
Rawa Danau sebagai
ekosistem rawa pegunungan satu –satunya di Indonesia haruslah dijaga dengan
penuh kehati – hatian. Tempat ini sudah menjadi Cagar Alam jauh sebelum kita
merdeka. Belanda kala itu sudah menjadikan tempat ini sebagai tempat yang
sangat dilindungi, bukan karena tempat ini merupakan Rawa Pegunungan yang
langka akan tetapi juga merupakan sumber air yang sangat vital bagi Provinsi
Banten. Jika tempat ini hancur akan sulit bagi masyarakat maupun Industri di
Banten mendapatkan sumber mata air. Waduk Krenceng yang sangat besar itu pun
airnya bersumber dari sini.
Selepas
beristirahat dan makan siang di tengah hutan dengan menu spesial Balado Teri
Kacang (BKT) yang hanya dimasak oleh nyonya rumah jika gowes jarak jauh, gowes pun
kami lanjutkan menuju Desa Ciraap karena didesa ini terdapat Masjid yang
menjadi tujuan utama kami yang beragama Islam untuk menunaikan Shalat Dzuhur. Setibanya
di desa yang dituju kami meminta izin kepada penduduk sekitar untuk menunaikan
Shalat Dzuhur disini, sambil beristirahat sejenak disebuah warung untuk meminum
hangatnya teh manis (rasa air sangat eksotis karena dimasak menggunakan kayu).
Tak lupa kami membagikan permen kepada anak kecil yang berada disekitar kami.
Puas beristirahat
perjalanan dilanjutkan bergowes ria menuju ujung dari desa Cikurai dengan
melintasi Jembatan Cidanau (Jembatan Paris) yang legendaris. Disini kami sempat
mengkudeta jembatan selama beberapa menit untuk berfoto ria. Untung saja
pengendara motor yang melintas memaklumi dan tidak marah kepada kami.
Etafe ke 4 Jl. Raya Padarincang
Anyer – Cinangka Anyer – Cilegon kami lalui dengan sisa – sisa tenaga yang ada.
Dan seperti bisa Oppa Ketut yang badannya terbuat dari Otot semua langsung On
Fire bergowes di etafe ini untuk tiba di rumah idaman Pukul 17:30 (Luarrrrrrr
Biasaaaaa). Sisa kami ber 6 dengan sekuat tenaga bergowes pelan namun pasti menuju
rumah idaman masing –masing dengan bergowes beriringan. Ditengah perjalanan
kami berhenti sejenak untuk menunaikan Ibadah Shalat Ashar. Sesampainya di
pertigaan Cinangka kami kembali urunan untuk membeli beberpa botol air mineral.
Ditengah perjalanan Om Mull memutuskan untuk berhenti kembali demi merasakan
segarnya buah kelapa muda (Thanks to Pak Asep yang sudah traktir)..... Setelah
puas beristirahat disini gowes pun dilanjutkan untuk kembali ke rumah. Sesekali
kami harus berhenti karena tubuh ini sudah hampir mencapai batas kemampuannya
(pantat rasanya seperti dipanggang sangat panas). Dan...... Akhirnya dengan
perjuangan yang sangat panjang kami pun rata – rata sampai di rumah Pukul 19:00
(88 KM). Kecuali Abah Budi yang rumahnya nan jauh di Serang dengan jarak tempuh
hampir 100 KM.
“Hidup memang soal
keberanian menghadapi yang tanda tanya” (GIE). Sadar akan kemampuan diri saya
secara pribadi menyatakan bahwa Gowes Rawa Danau Session 3 ini merupakan gowes
saya yang terakhir untuk rute ini. Tongkat estafet rute ini saya serahkan
kepada mereka yang jiwanya masih muda, masih membara (Mas Taufik dan Mas Diki).
Rute ini menyajikan banyak hal : Pertemanan, Keberanian, Pengetahuan, Sosial,
Cinta akan Alam, & Kepedulian.
“Bukan tentang seberapa kuat kita dapat
mengayuh, tapi seberapa kuat kita dapat menahan diri untuk tidak mengeluh dan
terus berjuang”.
More Photos:
https://picasaweb.google.com/118015454831154083739/RawaDanauSession3