Halaman

Senin, 03 Februari 2014

Rawa Danau Session 3

Laki – laki itu memang di desain untuk selalu menjadi pribadi yang penuh akan keberanian, menyukai tantangan, dan nekat.  Terkadang ketiga point itu manjadi satu menjadi “TEKAD”, meski terkadang semua itu bertentangan dengan kenyataan. Ini bukan pernyataan ramalan bintang ataupun peruntungan di Tahun Kuda Kayu.  Ini semua hanyalah kegundahan ketika harus kembali lagi untuk ke tiga kalinya menyapa rute Rawa Danau.


Ekosistem Rawa Pegunungan satu – satunya di Asia ini dan yang ke dua di Dunia (satu lagi di Amazone). Terpampang didepan mata kita, yah... Banten memang memiliki semuanya. Goweser muda seperti Taufik dengan darah membaranya selalu saja merengek untuk sesegera mungkin menjelajahi rute ini. Seiring dengan harapan Taufik, Om Mull sebagai dedengkotnya Rawa Danau terpancing jiwa dan semangatnya untuk sekali lagi membimbing kami melintasi rute ini.

Lagi – lagi gowes kali ini diikuti oleh 7 Penggowes Tahan Panas (Oppa Ketut, Om Mull, Abah Budi, Om Asep, Mas Taufik, Mas Diki, & Saya). Bubur Lapindo tentu menu wajib sebelum gowes, menunggu Oppa Ketut dan Mas Diki di Krenceng, dan menyusul Abah Budi di Pasar Mancak. Di Pasar Mancak kami mengisi beberapa perbekalan seperti air, timun, coklat, permen, sirup anti masuk angin, & nasi (coklat dan permen selain untuk diri sendiri akan berguna karena banyak anak kecil di setiap kampung yang dilalui).


Setelah semuanya siap gowes Etafe 1 pun di mulai rutenya adalah Pasar Mancak – Desa Bulakan. Tanjakan demi tanjakan harus dilalui di etafe ini dan tentu saja dengan perbekalan seberat 6 Kg di pundak (mayoritas air). Saya pun menjadi goweser yang paling ngos – ngosan di etafe ini. Beruntung Om Mull mau berbagi beban di tengah perjalanan sehingga beban sedikit berkurang.

Etafe 2 Desa Bulakan – Desa Cikedung Rawa Danau. Di etafe ini kami disambut dengan turunan tajam yang asoy geboy. Pastikan jok sepeda diturunkan disini dan kondisi rem sepeda prima. Ditengah perjalanan saya bertemu dengan pengendara motor yang membawa 3 zak semen..... Dan sungguh malang nasib beliau, motor kesayangan ternyata tak mampu membawanya menuju keatas. Beruntung tidak oleng ke arah jurang. Fokus akan tujuan dan memastikan diri untuk tidak oleng seperti pengendara motor tadi memang butuh konsentrasi di etafe ini, hingga akhirnya saya bertemu dengan rombongan lainnya yang sudah lebih dahulu beristirahat disebuah kolam kecil dengan air yang sedikit mengalir.....

Yah sangat sedikit tidak seperti gowes Rawa Danau sebelumnya dimana kami dapat dengan mudah menemukan sumber mata air. Kondisi hutan yang perlahan mulai rusak karena penebangan pohon oleh penduduk sekitar mungkin menjadi pemicu hilangnya beberapa sumber mata air. Uang memang membutakan, keasrian pada akhirnya harus hilang karena ketidakpuasan segelintir orang akan kehidupan yang mereka alami.


Udara sejuk hanyalah harapan, matahari sepertinya sedang berbaik hati kala itu. Dengan setianya Ia menemani kami disepanjang perjalanan gowes kali ini. Sesampainya di Kantor Desa Cikedung kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan menyantap perbekalan yang kami siapkan sebelumnya. Tak disangka Oppa Ketut membawa beberapa buah Salak dan Mas Diki membawa pisang goreng yang ternyata masih hangat. Lengkap sudah isrirahat kali  ini.




Setelah tubuh kembali segar dan bersemangat gowes pun dilanjutkan menuju Etafe ke 3 yaitu Desa Cikedung – Desa Cikurai. Sebelum memasuki etafe ini jangan lupa untuk berdoa, karena medan yang akan dilalui adalah hutan belantara, jalan bebatuan, udara lembab, dan lumpur. Ini adalah etafe tersulit dari rangkaian rute gowes Rawa Danau. Disini kita seperti diawasi (jangan pernah gowes sendirian), jalan bebatuan yang licin sangat sulit untuk digowes. Sesekali kami harus turun dari sepeda karena bebatuan yang tidak memungkinkan untuk dilalui oleh sepeda. Di etafe ini sebenarnya kami memiliki tempat favorit untuk istirahat makan siang dan menunaikan ibadah Shalat Dzuhur. Akan tetapi ternyata di tempat ini air pun sudah bosan untuk mengalir, terpaksa kami melanjutkan gowes untuk mencari sumber mata air lainnya. Beruntung tidak jauh dari tempat tadi kami menemukan sumber mata air yang masih mengalir. “Alam hanya minta untuk dijaga” kearifan lokal yang mulai tergerus karena perkembangan zaman telah menggiring mereka untuk meningkatkan penghasilan demi kebutuhan Tersier dan mendorong terjadinya kerusakan hutan terutama hilangnya pepohonan untuk ditukarkan dengan pakaian, elektronik, atau sepeda motor idaman. 


Rawa Danau sebagai ekosistem rawa pegunungan satu –satunya di Indonesia haruslah dijaga dengan penuh kehati – hatian. Tempat ini sudah menjadi Cagar Alam jauh sebelum kita merdeka. Belanda kala itu sudah menjadikan tempat ini sebagai tempat yang sangat dilindungi, bukan karena tempat ini merupakan Rawa Pegunungan yang langka akan tetapi juga merupakan sumber air yang sangat vital bagi Provinsi Banten. Jika tempat ini hancur akan sulit bagi masyarakat maupun Industri di Banten mendapatkan sumber mata air. Waduk Krenceng yang sangat besar itu pun airnya bersumber dari sini. 

Selepas beristirahat dan makan siang di tengah hutan dengan menu spesial Balado Teri Kacang (BKT) yang hanya dimasak oleh nyonya rumah jika gowes jarak jauh, gowes pun kami lanjutkan menuju Desa Ciraap karena didesa ini terdapat Masjid yang menjadi tujuan utama kami yang beragama Islam untuk menunaikan Shalat Dzuhur. Setibanya di desa yang dituju kami meminta izin kepada penduduk sekitar untuk menunaikan Shalat Dzuhur disini, sambil beristirahat sejenak disebuah warung untuk meminum hangatnya teh manis (rasa air sangat eksotis karena dimasak menggunakan kayu). Tak lupa kami membagikan permen kepada anak kecil yang berada disekitar kami.



Puas beristirahat perjalanan dilanjutkan bergowes ria menuju ujung dari desa Cikurai dengan melintasi Jembatan Cidanau (Jembatan Paris) yang legendaris. Disini kami sempat mengkudeta jembatan selama beberapa menit untuk berfoto ria. Untung saja pengendara motor yang melintas memaklumi dan tidak marah kepada kami.



Etafe ke 4 Jl. Raya Padarincang Anyer – Cinangka Anyer – Cilegon kami lalui dengan sisa – sisa tenaga yang ada. Dan seperti bisa Oppa Ketut yang badannya terbuat dari Otot semua langsung On Fire bergowes di etafe ini untuk tiba di rumah idaman Pukul 17:30 (Luarrrrrrr Biasaaaaa). Sisa kami ber 6 dengan sekuat tenaga bergowes pelan namun pasti menuju rumah idaman masing –masing dengan bergowes beriringan. Ditengah perjalanan kami berhenti sejenak untuk menunaikan Ibadah Shalat Ashar. Sesampainya di pertigaan Cinangka kami kembali urunan untuk membeli beberpa botol air mineral. Ditengah perjalanan Om Mull memutuskan untuk berhenti kembali demi merasakan segarnya buah kelapa muda (Thanks to Pak Asep yang sudah traktir)..... Setelah puas beristirahat disini gowes pun dilanjutkan untuk kembali ke rumah. Sesekali kami harus berhenti karena tubuh ini sudah hampir mencapai batas kemampuannya (pantat rasanya seperti dipanggang sangat panas). Dan...... Akhirnya dengan perjuangan yang sangat panjang kami pun rata – rata sampai di rumah Pukul 19:00 (88 KM). Kecuali Abah Budi yang rumahnya nan jauh di Serang dengan jarak tempuh hampir 100 KM.


“Hidup memang soal keberanian menghadapi yang tanda tanya” (GIE). Sadar akan kemampuan diri saya secara pribadi menyatakan bahwa Gowes Rawa Danau Session 3 ini merupakan gowes saya yang terakhir untuk rute ini. Tongkat estafet rute ini saya serahkan kepada mereka yang jiwanya masih muda, masih membara (Mas Taufik dan Mas Diki). Rute ini menyajikan banyak hal : Pertemanan, Keberanian, Pengetahuan, Sosial, Cinta akan Alam, & Kepedulian. 

Bukan tentang seberapa kuat kita dapat mengayuh, tapi seberapa kuat kita dapat menahan diri untuk tidak mengeluh dan terus berjuang”. 

More Photos:
https://picasaweb.google.com/118015454831154083739/RawaDanauSession3

3 komentar:

  1. Kapan nich trek berikutnya, jangan terlalu lama, kaki keburu kaku lagi, hehehe

    BalasHapus
  2. Kalimat terakhir membuat merinding eyyy..

    BalasHapus
  3. Pak Budi : Lagi Pada sibuk nehhhhh sama urusan masing2 euyyyy

    Mas Diki : Heeee.... takuttttt

    BalasHapus